Selasa, 18 Juni 2013

Kembalikan Ayahku Seperti Yang Dulu


Oleh : Nurhidayah
Pukul 03.00 dini hari, Delisa dikagetkan dengan suara gedoran pintu yang sangat keras dari luar. Dia pun segera bangun dari tempat tidurnya dan berusaha memperbaiki posisi tubuhnya dan pikiran yang masih linglung. Ia lalu melangkah ke ruang tamu dengan perasaan was-was. “Siapa?” Tanya Delisa dengan suara gemetar.  “Ah,,cepat buka pintunya,  bertanya lagi ! jawab orang diluar, yang tidak henti menggedor pintu rumah. Tidak salah lagi kalau yang di luar ayahnya Delisa yang baru pulang entah dari mana. Delisa lalu bergegas lari dan segera membuka pintu dengan tangan gemetar. Ayahnya pun berhamburan masuk rumah dengan keadaan setengah sadar karena pengaruh minuman keras yang baru saja diminumnya. 


“Astagfirullah, ayah habis minum lagi? Sampai kapan ayah akan begini terus?” Delisa seakan menginterogasi ayahnya, namun yang ditanya tak sedikitpun mengeluarkan kata-kata, dia hanya berjalan tergopoh-gopoh sambil menggerutu seakan ingin mencaci maki Delisa namun tidak sanggup karena pengaruh minuman keras yang terlalu banyak dia minum. 

Delisa lalu merangkul ayahnya masuk kamar. Sampai di kamar, dia segera menjatuhkan badannya di atas tempat tidur. Lalu seenaknya tidur tanpa menghiraukan Delisa. 

Begitulah, hampir setiap malam Delisa menyambut ayahnya dalam keadaan seperti ini ketika pulang tengah malam tanpa dia tahu apa yang diperbuat oleh ayahnya di luar sana. Memanng sejak ibunya meninggal sekitar 2 tahun yang lalu karena mengidap penyakit kanker yang dideritanya, Delisa tidak pernah lagi merasakan kasih sayang selayaknya seorang anak pada umumnya. Dulu, ketika ibunya masih hidup, ayahnya begitu menyayanginya. Dia selalu menomor satukan kepentingan istri dan anak dibandingkan yang lain. Namun tak lupa pula bekerja keras untuk menghidupi mereka. Setiap hari selalu meluangkan waktu hanya untuk menemani Delisa bermain di rumah. Yang kebetulan pada waktu itu dia bekerja sebagai karyawan wiraswasta yang sanggup mencukupi kebutuhan istri dan anaknya. Delisa saat itu sangat beruntung, karena mempunyai orang tua yang sangat menyayanginya. Namun, moment itu hanya sebentar dirasakannya.

Ibu Delisa yang tidak dia sangka begitu cepat meninggalkannya, karena penyakit kanker, penyakit yang sudah menggerogoti tubunya sejak Delisa berada dalam kandungan. Namun, karena terkendala masalah dana, penyakit ini tidak dapat ditangani oleh tangan-tangan ahli. Dan mengakibatkan dirinya hanya bisa dirawat di rumah dengan pengobatan yang sangat sederhana, hingga akhirnya meninggalkan Delisa dan ayahnya dengan beban yang sangat berat yang tidak seharusnya dirasakan oleh seorang anak yang masih sangat dini untuk ditinggalkan oleh belaian seorang ibu. Menjadi single parent bagi ayah Delisa merupakan pekerjaan yang sangat berat, mengasuh anak masih sangat kecil. Tapi mereka tidak mungkin melawan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Sejak saat itu, ayah Delisa mulai down, Delisa yang masih kecil mulai diabaikannya, pekerjaan yang seharusnya ditekuninya mulai ditinggalkannya. Delisa pernah tinggal di rumah neneknya karena keadaan ayahnya yang seperti itu, tapi ayahnya lalu mengambilnya lagi dan berjanji tidak akan mengabaikan Delisa. Namun, janjinya itu hanya sebentar, sampai dia tidak sadar sudah terlalu jauh terseret oleh lembah hitam kelamnya kehidupan. Sampai dia dikeluarkan dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Dan memaksa anaknya sendiri menjadi pengamen di tengah jalan untuk menghidupi kehidupan mereka. Terkadang juga uang hasil Delisa mengamen dipakai ayahnya untuk berjudi dan membeli minuman keras.

Hingga saat ini, hampir 2 tahun sudah ayahnya menjadi korban dunia hitam, kehidupan yang memaksa Delisa cepat tumbuh menjadi lebih dewasa dari anak-anak sebayanya. Hal yang sangat disayangkan adalah Delisa sudah tidak bisa mengenyam pendidikan dan bermain dengan anak-anak sebayanya. Namun semua itu tidak pernah membuatnya sedih dan merasa iri. Satu-satunya yang sangat diharapkannya adalah membuat ayahnya kembali seperti dulu dan meninggalkan pekerjaannya sekarang. Olehnya itu, dia sering mencuri-curi waktu bertemu dengan guru mengajinya untuk belajar mengaji dan ilmu pengetahuan umum tanpa harus mengeluarkan biaya. Dari situ, Delisa belajar dan sedikit memahami ayahnya. Tapi hal yang selalu membuatnya sedih adalah sampai kapan ayahnya harus seperti ini?

Delisa selalu mencoba menyadarkan ayahnya dengan sengaja mengaji di rumahnya ketika subuh hari dengan niat ayahnya bisa sadar dari pekerjaannya itu. Namun kebanyakan, Delisa mendapat marah dan sesekali dipukul oleh ayahnya. Delisa tidak pernah menyerah dengan semua itu, mungkin karena sering diberi motivasi oleh guru megajinya sehingga itu semua sudah menjadi hal yang biasa yang semakin membuatnya bersemangat lagi dan berusaha lebih keras lagi.

Sampai mala itu, Delisa sudah tidak bisa lagi menghadapi kelakuan ayahnya yang sudah sangat melampauhi batas, ayahnya sudah sangat jauh terseret ke lembah hitam yang paling dalam. Sangat mengiris hatinya.

Delisa masih berdiri di pintu kamar, memandangi ayahnya yang sudah terbawa oleh tidur pulasnya. Dia merasa usahanya sudah mencapai tingkat maksimal dan dia sudah tidak berdaya lagi meghadapi kelakuan ayahnya. Dia mau mengadu namun tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Setitik bening keluar  dari matanya yang tidak berdosa.

“ya Allah, mengapa Engkau memberikan beban kepadaku seberat ini? Dan kapan semua ini akan berakhir? Dunia seakan tidak mau bersahabat denganku lagi, andai saja mama masih hidup pasti ayah tidak akan seperti ini. Aku mohon kembalikan ayahku yang dulu lagi”. Delisa sudah tidak sanggup lagi membendung air matanya hingga titik demi titik air matanya keluar semakin deras. Dia lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya yang terletak di sebelah kamar ayahnya dan mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Mencoba unutk memejamkan mata berharap dia dapat terlelap malam itu, dan bermimpi bertemu dengan ibunya hingga membawanya ke tempat yang penuh dengan kedamaian tanpa harus terbebani oleh perasaan yang begitu berat seperti ini. Namun, matanya pun tak kunjung terlelap hingga sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari mesjid yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya dia pasrah untuk ttidak tidur subuh itu. Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menenangkan pikirannya adalah dengan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah yang taat. Dia kembali teringat ketika shalat berjamaah dengan kedua orang tuanya sewaktu mamanya masih hidup, dia begitu merasakan kedamaian. Entah kapan lagi saat-saat seperti itu terulang kembali.dalam shalatnya, Delisa mengadu tentang ketidaksanggupannya menghadapi kejamnya hidup ini, terutama tentang ayahnya, dia berharap Tuhan segera menyadarkannya, mengembalikan senyum ayahnya lagi yang tidak pernah putus asa oleh kehidupan yang kelam. Dan tentang masa depannya yang harus bermuara di mana. “kembalikan ayahku yang dulu lagi.” Itu adalah penutup doanya yang panjang yang diiringi oleh titik-titik air matanya. 

Tanpa Delisa sadari, suara doa dan tangisnya sayup-sayup membangunkan ayahnya karena memang kamar mereka hanya dibatasi oleh tripleks tipis yang mungkin walapun orang berbisik-bisik tetap terdengar. Sebenarnya dia sering mendengar Delisa mengaji di subuh hari dan diam-diam membuatnya terharu dan bangga mempunyai anak yang begitu taat beribadah tapi sesaat kemudian dia dikuasai lagi oleh hawa nafsunya. Akan tetapi subuh itu, doa seakan mengutuk dirinya, bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah banyak mengorbankan kebahagiaan anak semata wayangnya, satu-satunya harta yang paling berharga peninggalan istrinya yang tercinta. Sesaat dia lalu teringat pesan istrinya yang menyuruhnya untuk menjaga Delisa dan mendidiknya hingga menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh kedua orang tuanya. “ayah, jika suatu saat terjadi sesuatu yang membuat kita harus berpisah, aku Cuma berpesan jaga Delisa baik-baik, didik dia menjadi anak yang bisa dibanggakan.  Jangan biarkan setitik air matanya menetes sedikit pun karena dia adalah harta kita yang paling berharga.” Dia sangat ingat pesan istrinya tersebut.

Dia tertunduk malu kepada dirinya sendiri,  malu kepada penciptanya, dan malu kepada ayahnya  yang begitu sabar menghadapi kelakuannya selama ini. Air mulai menggenanngi kelopak matanya, dan dia sudah tidak kuasa menahannya hingga membuatnya terseduh dan menangis sejadi-jadinya. Entah kekuatan dari mana, dia lalu melangkah keluar kamar menuju kamar Delisa. Sampai di pintu kamar Delisa dia masih melihat anaknya itu tunduk di atas sajadahnya dengan sesekali sesenggukan. Tanpa diperintah sedikit pun, dia langsung berhamburan ke arah Delisa dan langsung memeluk anaknya dengan pelukan yang sangat erat, penuh kasih sayang layaknya seorang ayah. Delisa yang saat itu kaget dengan kehadiran ayahnya tiba-tiba hanya bisa diam dan langsung membalas pelukan ayahnya yang tak kalah eratnya. Sesaat mereka berada dalam keharuan yang mendalam. Dalam diam, Delisa berbisik ke telinga ayahnya: “ayah aku sangat menyayangimu”. Ayahnya hanya membalasnya dengan pelukan yang semakin erat karena tidak mampu mengungkapkan rasa bahagia yang dirasakannya..
                                                                                **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar