Oleh : Nurhidayah
Pukul 03.00 dini hari, Delisa dikagetkan dengan suara
gedoran pintu yang sangat keras dari luar. Dia pun segera bangun dari tempat
tidurnya dan berusaha memperbaiki posisi tubuhnya dan pikiran yang masih
linglung. Ia lalu melangkah ke ruang tamu dengan perasaan was-was. “Siapa?” Tanya Delisa dengan suara gemetar. “Ah,,cepat buka pintunya, bertanya lagi ! jawab orang diluar, yang
tidak henti menggedor pintu rumah. Tidak salah lagi kalau yang di luar ayahnya
Delisa yang baru pulang entah dari mana. Delisa lalu bergegas lari dan segera
membuka pintu dengan tangan gemetar. Ayahnya pun berhamburan masuk rumah dengan
keadaan setengah sadar karena pengaruh minuman keras yang baru saja diminumnya.
“Astagfirullah, ayah habis minum lagi? Sampai kapan ayah
akan begini terus?” Delisa seakan menginterogasi ayahnya, namun yang ditanya
tak sedikitpun mengeluarkan kata-kata, dia hanya berjalan tergopoh-gopoh sambil
menggerutu seakan ingin mencaci maki Delisa namun tidak sanggup karena pengaruh
minuman keras yang terlalu banyak dia minum.
Delisa lalu merangkul ayahnya masuk kamar. Sampai di kamar,
dia segera menjatuhkan badannya di atas tempat tidur. Lalu seenaknya tidur
tanpa menghiraukan Delisa.
Begitulah, hampir setiap malam Delisa menyambut ayahnya dalam
keadaan seperti ini ketika pulang tengah malam tanpa dia tahu apa yang
diperbuat oleh ayahnya di luar sana. Memanng sejak ibunya meninggal sekitar 2
tahun yang lalu karena mengidap penyakit kanker yang dideritanya, Delisa tidak
pernah lagi merasakan kasih sayang selayaknya seorang anak pada umumnya. Dulu,
ketika ibunya masih hidup, ayahnya begitu menyayanginya. Dia selalu menomor
satukan kepentingan istri dan anak dibandingkan yang lain. Namun tak lupa pula
bekerja keras untuk menghidupi mereka. Setiap hari selalu meluangkan waktu
hanya untuk menemani Delisa bermain di rumah. Yang kebetulan pada waktu itu dia
bekerja sebagai karyawan wiraswasta yang sanggup mencukupi kebutuhan istri dan
anaknya. Delisa saat itu sangat beruntung, karena mempunyai orang tua yang
sangat menyayanginya. Namun, moment itu hanya sebentar dirasakannya.
Ibu Delisa yang tidak dia sangka begitu cepat
meninggalkannya, karena penyakit kanker, penyakit yang sudah menggerogoti
tubunya sejak Delisa berada dalam kandungan. Namun, karena terkendala masalah
dana, penyakit ini tidak dapat ditangani oleh tangan-tangan ahli. Dan
mengakibatkan dirinya hanya bisa dirawat di rumah dengan pengobatan yang sangat
sederhana, hingga akhirnya meninggalkan Delisa dan ayahnya dengan beban yang
sangat berat yang tidak seharusnya dirasakan oleh seorang anak yang masih
sangat dini untuk ditinggalkan oleh belaian seorang ibu. Menjadi single parent bagi ayah Delisa merupakan
pekerjaan yang sangat berat, mengasuh anak masih sangat kecil. Tapi mereka
tidak mungkin melawan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan yang Maha Kuasa.
Sejak saat itu, ayah Delisa mulai down, Delisa yang masih
kecil mulai diabaikannya, pekerjaan yang seharusnya ditekuninya mulai
ditinggalkannya. Delisa pernah tinggal di rumah neneknya karena keadaan ayahnya
yang seperti itu, tapi ayahnya lalu mengambilnya lagi dan berjanji tidak akan
mengabaikan Delisa. Namun, janjinya itu hanya sebentar, sampai dia tidak sadar
sudah terlalu jauh terseret oleh lembah hitam kelamnya kehidupan. Sampai dia
dikeluarkan dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Dan memaksa anaknya
sendiri menjadi pengamen di tengah jalan untuk menghidupi kehidupan mereka.
Terkadang juga uang hasil Delisa mengamen dipakai ayahnya untuk berjudi dan
membeli minuman keras.
Hingga saat ini, hampir 2 tahun sudah ayahnya menjadi korban
dunia hitam, kehidupan yang memaksa Delisa cepat tumbuh menjadi lebih dewasa
dari anak-anak sebayanya. Hal yang sangat disayangkan adalah Delisa sudah tidak
bisa mengenyam pendidikan dan bermain dengan anak-anak sebayanya. Namun semua
itu tidak pernah membuatnya sedih dan merasa iri. Satu-satunya yang sangat
diharapkannya adalah membuat ayahnya kembali seperti dulu dan meninggalkan
pekerjaannya sekarang. Olehnya itu, dia sering mencuri-curi waktu bertemu
dengan guru mengajinya untuk belajar mengaji dan ilmu pengetahuan umum tanpa
harus mengeluarkan biaya. Dari situ, Delisa belajar dan sedikit memahami
ayahnya. Tapi hal yang selalu membuatnya sedih adalah sampai kapan ayahnya
harus seperti ini?
Delisa selalu mencoba menyadarkan ayahnya dengan sengaja
mengaji di rumahnya ketika subuh hari dengan niat ayahnya bisa sadar dari
pekerjaannya itu. Namun kebanyakan, Delisa mendapat marah dan sesekali dipukul
oleh ayahnya. Delisa tidak pernah menyerah dengan semua itu, mungkin karena
sering diberi motivasi oleh guru megajinya sehingga itu semua sudah menjadi hal
yang biasa yang semakin membuatnya bersemangat lagi dan berusaha lebih keras
lagi.
Sampai mala itu, Delisa sudah tidak bisa lagi menghadapi
kelakuan ayahnya yang sudah sangat melampauhi batas, ayahnya sudah sangat jauh
terseret ke lembah hitam yang paling dalam. Sangat mengiris hatinya.
Delisa masih berdiri di pintu kamar, memandangi ayahnya yang
sudah terbawa oleh tidur pulasnya. Dia merasa usahanya sudah mencapai tingkat
maksimal dan dia sudah tidak berdaya lagi meghadapi kelakuan ayahnya. Dia mau
mengadu namun tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Setitik bening keluar dari matanya yang tidak berdosa.
“ya Allah, mengapa Engkau memberikan beban kepadaku seberat
ini? Dan kapan semua ini akan berakhir? Dunia seakan tidak mau bersahabat
denganku lagi, andai saja mama masih hidup pasti ayah tidak akan seperti ini.
Aku mohon kembalikan ayahku yang dulu lagi”. Delisa sudah tidak sanggup lagi
membendung air matanya hingga titik demi titik air matanya keluar semakin
deras. Dia lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya yang terletak di sebelah kamar
ayahnya dan mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Mencoba unutk memejamkan
mata berharap dia dapat terlelap malam itu, dan bermimpi bertemu dengan ibunya
hingga membawanya ke tempat yang penuh dengan kedamaian tanpa harus terbebani
oleh perasaan yang begitu berat seperti ini. Namun, matanya pun tak kunjung
terlelap hingga sayup-sayup terdengar suara adzan subuh dari mesjid yang tak
jauh dari tempat tinggalnya. Akhirnya dia pasrah untuk ttidak tidur subuh itu.
Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menenangkan pikirannya adalah dengan
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah yang taat. Dia kembali
teringat ketika shalat berjamaah dengan kedua orang tuanya sewaktu mamanya
masih hidup, dia begitu merasakan kedamaian. Entah kapan lagi saat-saat seperti
itu terulang kembali.dalam shalatnya, Delisa mengadu tentang
ketidaksanggupannya menghadapi kejamnya hidup ini, terutama tentang ayahnya,
dia berharap Tuhan segera menyadarkannya, mengembalikan senyum ayahnya lagi
yang tidak pernah putus asa oleh kehidupan yang kelam. Dan tentang masa
depannya yang harus bermuara di mana. “kembalikan ayahku yang dulu lagi.” Itu
adalah penutup doanya yang panjang yang diiringi oleh titik-titik air matanya.
Tanpa Delisa sadari, suara doa dan tangisnya sayup-sayup
membangunkan ayahnya karena memang kamar mereka hanya dibatasi oleh tripleks
tipis yang mungkin walapun orang berbisik-bisik tetap terdengar. Sebenarnya dia
sering mendengar Delisa mengaji di subuh hari dan diam-diam membuatnya terharu
dan bangga mempunyai anak yang begitu taat beribadah tapi sesaat kemudian dia
dikuasai lagi oleh hawa nafsunya. Akan tetapi subuh itu, doa seakan mengutuk
dirinya, bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah banyak mengorbankan
kebahagiaan anak semata wayangnya, satu-satunya harta yang paling berharga
peninggalan istrinya yang tercinta. Sesaat dia lalu teringat pesan istrinya
yang menyuruhnya untuk menjaga Delisa dan mendidiknya hingga menjadi anak yang
bisa dibanggakan oleh kedua orang tuanya. “ayah, jika suatu saat terjadi
sesuatu yang membuat kita harus berpisah, aku Cuma berpesan jaga Delisa
baik-baik, didik dia menjadi anak yang bisa dibanggakan. Jangan biarkan setitik air matanya menetes
sedikit pun karena dia adalah harta kita yang paling berharga.” Dia sangat
ingat pesan istrinya tersebut.
Dia tertunduk malu kepada dirinya sendiri, malu kepada penciptanya, dan malu kepada
ayahnya yang begitu sabar menghadapi
kelakuannya selama ini. Air mulai menggenanngi kelopak matanya, dan dia sudah
tidak kuasa menahannya hingga membuatnya terseduh dan menangis sejadi-jadinya.
Entah kekuatan dari mana, dia lalu melangkah keluar kamar menuju kamar Delisa.
Sampai di pintu kamar Delisa dia masih melihat anaknya itu tunduk di atas
sajadahnya dengan sesekali sesenggukan. Tanpa diperintah sedikit pun, dia
langsung berhamburan ke arah Delisa dan langsung memeluk anaknya dengan pelukan
yang sangat erat, penuh kasih sayang layaknya seorang ayah. Delisa yang saat
itu kaget dengan kehadiran ayahnya tiba-tiba hanya bisa diam dan langsung
membalas pelukan ayahnya yang tak kalah eratnya. Sesaat mereka berada dalam
keharuan yang mendalam. Dalam diam, Delisa berbisik ke telinga ayahnya: “ayah aku sangat menyayangimu”. Ayahnya
hanya membalasnya dengan pelukan yang semakin erat karena tidak mampu
mengungkapkan rasa bahagia yang dirasakannya..
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar